Monday, October 22, 2007

mengawetkan makanan ala suku pedalaman di Jambi

"Menyaloi Louq"
teks dan foto : eva tobing

Tok…tok…tok… induk Pengusai seorang perempuan rimba tampak asyik mengayunkan parangnya menebas kayu-kayu kecil. Ia ingin membuat paro yaitu tungku memasak dari kayu basah berbentuk persegiempat. Wajah ibu beranak 10 ini tampak ceria setelah semalam menantunya Mintel dan tetangganya Nagu memperoleh 2 ekor sawo, jenis ular phiton sepanjang 6 meter dan 2 meter. Mereka girang bukan kepalang, karena memperoleh louq/daging buruan yang sangat banyak. Apalagi kelompok yang tergolong masyarakat adat/indiginious people ini, dalam masa belangun (berpindah tempat tinggal karena dikelompoknya ada yang meninggal.) dimana masa remayau (kekurangan makanan) akan selalu menghantui.

Louq-pun dipotong-potong dan dibagi ke semua anggota kelompok yang terdiri dari 6 kepala keluarga. Karena sisa louq masih banyak, maka induk Pengusai bergegas menyaloi/(mengasapi daging agar tidak busuk dan dapat disimpan selama 2-3 hari sebagai makanan cadangan). Iapun membuat perapian agak jauh dari belalapion (rumah sederhana beratap terpal plastik, beralaskan tanah). Menurut kepercayaan nenek moyang orang rimba, menyaloi louq tidak boleh dilakukan di dapur rumah ataupun dekat dari rumah tinggal, pasalnya diyakini perabotan rumah tangga seperti kain-kain denda yang dibungkus/pembungkuy dapat rusak atau bahkan hilang/kesusunaron.


Setelah 2 jam dipanggang di api, daging ular mulai menghitam dan setengah matang, kemudian induk Pengusai memasukkan ke dalam karung goni plastik dan menyimpannya di rumah. Biasanya louq yang sudah disaloi akan direbus atau digoreng keesokan harinya dan disajikan sebagai menu yang sangat ditunggu keluarga, meski hanya dimakan tanpa nasi atau ubi.


Sebelum semua daging disimpan, tangan kecil Bebidar cucu induk Pengusai mulai beraksi. Dengan parang panjang ia memotong-motong daging ular itu, kemudian memasukkannnya kedalam mulut. Dengan susah payah Bebidar mengunyah daging sawo yang memang masih kenyal dan keras. Melihat keasyikan Bebidar, maka induk Pengusay meminta seiris dan ia mengunyah sebentar kemudian menelannya tanpa lumat, karena giginya hampir semua copot.


Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi
26 Agustus 2006

































7 Comments:

Blogger Sarjan Soleman said...

Nice story pey... :D

1:08 AM  
Blogger Unknown said...

wah bagus banget......
masih ada gak yang lain yang bisa di publikasikan ???

10:16 PM  
Blogger www.evatobing.blogspot.com said...

untuk sorjan soleman, makasih utk komennya dan bubung, tunggu y foto2 lanjutan rimbanya and tengs anyway jg

11:02 PM  
Blogger denyEdison said...

pey aku terinspirasi dengan blognya, aku juga bikin blog. (suebz 94)

9:20 PM  
Blogger dneuva said...

Hi eva,

nama kita sama persis, minat sama persis,, panggilannya jg bisa sama persis. hahhaa...

kenalin, aku Eva Tobing, panggilan juga Ipey, hobby juga fotografi :">

saya bbrp kali di email dengan pertanyaan seakan2 sayah adalah kamu... :D sampe penasaran googling nama Eva Tobing, dan ketemu blog ini... hihihi

blog mu menarik, terutama tentang suku anak dalam jambi :)

salam kenal,
Eva Tobing, IPEY
http://dneuva.multiply.com

3:49 AM  
Blogger Eki said...

Thanks for sharing this, PEY!

11:24 PM  
Blogger Dari kampung untuk jagat raya said...

Eva, photo yang bagus. catatan perjalanan yang menawan. Kapan jalan ke Jambi lagi? Tapi sekarang lagi tidak bagus cuacanya, musim hujan dan banjir.

12:10 AM  

Post a Comment

<< Home